Aku Bangga Menjadi Anak Surabaya
Alarm berdering keras mengejutkanku dikala lelapnya tidurku. Ku gosok sudut-sudut mataku untuk membersikan dari keringnya si belek. Mentari cukup malu untuk menampakkan sinarnya yang begitu cerah. Rembulan masih berkuasa dalam redupnya malam ditemani bintang-bintang yang mulai hilang. Tanpa basa-basi langsung kuambil air wudhu dan beberapa menit kemudian adzan berkumandang. Aku hampir lupa aku punya seorang kakek yang harus aku bangunkan.
“Kek...” sambil kubuka pintu kamarnya, aku memanggilnya.
“Ayo berangkat !” balas kakek dengan santainya. Ternyata kakek sudah siap dengan baju muslimnya yang lengkap ditambah tasbih dan buku do’a, entah sejak kapan kakek bersiap-siap. Kamipun berangkat ke mushala yang jaraknya cukup dekat dari rumah, jadi kami berjalan menuju ke sana untuk shalat subuh berjamaah.
Aku belum cukup akrab dengan orang-orang di sekitar sini, itu dikarenakan sudah lama aku meninggalkan tanah kelahiranku ini. Banyak sekali yang berubah dari tanah kelahiranku, tak sedikit pula wajah-wajah baru yang muncul. Aku lahir di Kota Surabaya yang terkenal dengan sebutan ‘Kota Pahlawan’, semoga sesuai sebutannya semoga kota ini dipenuhi dengan pahlawan-pahlawan kebaikan.
Sebenarnya sampai sekarang aku belum tahu alasan mengapa aku dan keluargaku pindah ke Jakarta. Waktu-waktu terakhir yang aku ingat sebelum kepindahanku yaitu saat aku masih cukup kecil kira-kira TK B(Taman Kanak-kanak (kelas besar/2)), dimana aku sudah sangat akrab dengan teman-teman di TK. Teman TK-atau lebih enaknya disebut sahabat-yang juga teman sekampung denganku dan rumahnya cukup dekat dengan rumahku, dia bernama Rizal. Dia mengajarkanku bagaimana menjadi manusia yang begitu liar dan bebas bagai raja hutan,
“We.. Ayo.. Bantu..!!!” teriak Rizal dengan suara khasnya yang cempreng. Si hitam manis itu ternyata kesulitan memegang batang bambu yang digunakannya untuk mengambil pencit (buah mangga yang masih muda).
“Ssst... Jangan keras-keras! Nanti yang punya keluar lo... Ya ya tak bantuin.” balasku dengan membisik tanda waspada ke si hitam manis itu. Ksrek ksrek ksrek, suara daunnya yang bergesekan menghasilkan suara yang cukup keras.
“yang kuat dong!!” dengan sedikit kesal kepadaku dia sok sok memerintahku.
“iya ini aku juga sudah usaha” jelasku. Bugh bugh bugh, akhirnya pencit-pencit itupun jatuh.
“Woi... Bocah...” tiba-tiba pemilik pohon mangga itu keluar dengan wajahnya yang menakutkan.
“Kaboor....” teriak Rizal yang langsung lari terbirit-birit ketakutan begitupun diriku yang sedikit tersandung-sandung, tak lupa kami menyambar sepeda kami yang tergeletak dengan cukup kualahan.
Untungnya Rizal berhasil mengambil satu buah mangga muda yang jatuh di dekatnya. Kamipun menikmati satu pencit bersama dengan bergantian menggrogotinya, rasanya yang asam namun segar membuat kita memunculkan ekspresi yang lucu juga aneh. Makan mangga muda bersama sahabat di tepi kali(sungai) Njagir yang berwarna kecoklatan dengan ditemani sinar indah matahari yang terbenam menjadi pengalaman yang cukup sulit untuk di lupakan.
Tapi semua ingatan bersama Rizal mulai enggan untuk kuingat-ingat lagi. Semenjak aku kembali ke Surabaya, Aku cukup sering berpas-pasan dengan Rizal, tapi dia seakan-akan tidak pernah mengenalku bahkan terlihat dia seakan-akan tidak suka dengan keberadaanku di kota pahlawan ini. Aku cukup memaklumi sikap Rizal, karena pasti setiap orang pasti mengalami perkembangan dan perubahan. Tapi Rizal terlalu berubah, yang dulu dia ceria, ramah, usil dan suka menggangu sekarang dia cukup pendiam, cuek atau tidak peduli dengan keadaan sekitar, setiap aku mendekatinya dan akan mengobrol dengannya dia selalu menghindar.
Alasan mengapa aku kembali ke kota kelahiranku lagi yaitu karena aku sudah bosan dan penat dengan kesumpekan ibu kota, ditambah lagi aku ingin menemani kakek yang sudah tidak bisa bebas melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya dan aku cukup kangen dengan kota pahlawan ini. Orang tuaku tetap tinggal di Jakarta karena ayahku sedang bertugas di sana.
Minggu pagi aku pergi ke pasar tapi kali ini aku tidak bersama kakek, aku memaksanya untuk di rumah saja biar tidak kecapean.
“Ini ya kek daftarnya, aku berangkat assalamualaikum..” pamitku ke kakek dengan mengayu sepeda tua miliknya menuju ke pasar yang cukup dekat dengan rumah.
Di tengah jalan aku melihat Rizal sedang sama sepertiku dia juga mengayuh sepeda, akupun memberanikan diri untuk menghadangnya.
“Rizal, mau ke mana?” langsung ku mulai pembicaraan sebelum dia kabur.
“Sudahlah, bukan urusanmu” dia membalas dengan ekspresi kesal. Kupikir dia sepertinya memiliki suatu dendam padaku.
Dia berusah kabur, tapi aku tetap berusaha menghadangnya.
“Apa mesalahmu denganku?” Rizal mulai mengalah.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, aku merasa tidak ada masalah denganmu. Tapi kenapa kamu selalu menghindar dariku, seharusnya jika tidak ada apa-apa, kamu tak perlu menghindar seperti itu. Dan kulihat sepertinya kamu menyimpan dendam padaku. Kita kan sahabat. Apa kamu lupa denganku?. Sebaiknya jika ada masalah kita bicarakan secara baik-baik. Aku tidak ingin saat aku meninggal nanti ada suatu hal yang menghambat aku menuju jannah Allah Swt.”
“Baiklah daripada kita berdebat di sini, sebaiknya kamu ikut denganku dan aku akan jelaskan semuanya.” kekesalan dia terhadapku terlihat sudah mulai hilang. Akupun mengikutinya ke suatu tempat. Ini adalah tempat yang tidak asing bagiku, ya ini tempat aku dan Rizal memakan pencit bersama saat kita masih kecil.
“Jangan bilang kau sudah lupa dengan tempat ini?” kekesalannya kadang muncul kadang hilang.
“tidak, aku masih benar-benar ingat dengan tempat ini, ini adalah tempat kita makan pencit bareng kan.” balasku dengan sangat yakin.
“untung kau masih ingat, kalau lupa langsung kodorong kau ke kali tepat di depanmu ini. Sebelum ku jelaskan semua, aku mau bertanya satu hal padamu, apakah kamu ingat dulu apa yang terjadi setelah kita makan pencit?” Rizal bertanya padaku dengan memasang wajah yang serius.
“Hmmm.... Iya ya kenapa aku tiba-tiba bisa lupa???”
“Baiklah aku akan ceritakan dan jelaskan, saat itu kita sedang makan pencit di tepi sungai ini...” sambil dia menceritakan aku berusaha membayangkan dan mengingat-ingat kembali. Dia melanjutkan
“Enakkan....” ucap Rizal kecil yang aku masih cukup ingat apa yang dia katakan dan bagaimana ekspresinya, yang dia seperti mengejekku.
“Enak.. tapi kecut” kitapun tertawa bersama. Tiba-tiba Rizal menoleh ke belakang, aku yang penasaran juga ikut menoleh. Ternyata Si pemilik pencit yang berkumis tebal ditambah jenggot pendek yang hanya beberapa helai dan mata yang tajam dengan menggendong perut yang bincit, dengan mengenakan sarung dan peci yang keganasan Si pemilik pencit cukup berkurang. Meskipun begitu kami tetap ketakutan.
Sifat Rizal yang panik cukup mengkhawatirkan, akupun berusaha membuatnya lebih tenang dan hati-hati.
“Sssst...” aku menarik tangannya dengan jari telunjuk dimulut sebagai tanda agar dia bersikap tetap tenang. Sayang usahaku kurang berhasil.....
Matanya terbelalak penuh ketakutan dan kepanikan di saat Si pemilik pencit sudah tau keberadaan kita dan Si pemilik pencit itu mendekat dengan cepat. Aku terbawa suasana Rizal yang begitu panik, kami begitu kualahan. Lari di pinggir kali menuju pohon tempat memarkirkan sepada. Saat lari kulihat di depan ada genangan air tepat di tepi kali tapi aku coba untuk tetap melewatinya.
Gdebugh.. alhasil aku tergelincir dan nyaris jatuh ke kali.
“Zal.. Tolong” kuteriaki dia yang tetap berlari, dia berhenti dan menoleh, dia terlihat ragu-ragu dengan apa yang ada di belakangku. Tiba-tiba tubuhku dijunjung berdirikan oleh Si pemilik pencit, rasa sakit di tubuhku ditambah ketakutanku akan Si kumis tebal itu membuatku menangis merengek, (aku malu bila membayangkan yang itu).
“Gakapa, He jangan nangis, laki kok nangis, duduk sini dulu ya...” mendengar perkataan Si pemilik pencit ditambah dia mengusap-usap kepala juga punggungku tiba-tiba aku jadi lebih tenang, Ternyata dia tidak seganas yang dibayangkan. Dari kejauhan Rizal terlihat mematung cemas.
“Siapa nama temenmu itu?” tanya dengan ramah Si pemilik pencit.
“Rizal” Jawabku dengan malu sambil membersihkan air mata serta ingus.
“Rizal.. Kesini nak..” teriak Si pemilik pencit dengan penuh kasih sayang bagai anaknya sendiri. Pahlawan yang tak disangka.